Ad Code

Responsive Advertisement

KETIKA SENJATA TAK MAMPU MEMBUNGKAM "PERLAWANAN"

 


sumber foto; copas fb

Ketika senjata tak mampu membungkam perlawanan, informasi kerap dijadikan peluru. Begitulah kira-kira yang terjadi dalam dinamika konflik bersenjata di Papua hari-hari ini. Dalam hitungan pekan, publik disuguhi dua narasi besar yang disebarkan aparat negara: pertama, klaim bahwa pimpinan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB), Egianus Kogoya, menerima uang Rp5 miliar dari pihak tertentu. Kedua, tuduhan bahwa markas kelompoknya dikelilingi ladang ganja.


Dua tuduhan itu, sejauh ini, belum pernah disertai bukti terbuka. Tidak ada konfirmasi independen, tidak ada dokumentasi lapangan, dan tidak ada pelibatan lembaga pemantau yang netral. Yang ada hanya satu pola: tuduhan masif yang disebar melalui kanal media milik negara dan akun-akun resmi aparat keamanan.


Dalam pernyataannya yang singkat namun tajam, Egianus Kogoya merespons dengan kalimat yang kini menyebar luas di kanal digital: "Kemarin mereka sebarkan hoax 5 miliar. Sekarang mereka sebarkan hoax kebun ganja. Macam ada yang panik. Aplikasi AI ko jago, tapi nurani rakyat lebih jernih."


Respons ini bukan sekadar sindiran. Ia adalah penanda bahwa perang di Papua hari ini bukan hanya perang senjata, melainkan juga perang informasi. Pemerintah tampaknya makin intens memproduksi narasi-narasi delegitimasi terhadap kelompok yang selama ini mereka labeli sebagai "kelompok kriminal bersenjata". Padahal, di mata sebagian rakyat Papua dan dalam berbagai forum internasional, kelompok ini adalah representasi perlawanan terhadap sejarah ketidakadilan dan pelanggaran HAM selama puluhan tahun.


Alih-alih menjawab akar masalah Papua, seperti pelanggaran HAM, marginalisasi ekonomi, dan hak penentuan nasib sendiri, pemerintah lebih sering memilih jalur propaganda. Dan propaganda yang tidak disertai bukti hanya akan menambah jarak antara negara dan rakyatnya. Pertanyaannya sederhana: Jika pemerintah yakin berada di sisi yang benar, mengapa perlu membangun kebenaran dengan kebohongan?


Kecurigaan publik bahwa pemerintah sedang panik bukan tanpa alasan. Setiap tuduhan yang disebar tanpa dasar justru memperkuat persepsi bahwa negara kehilangan kendali atas narasi, dan mencoba menutupi kegagalan dengan skenario murahan. Dalam situasi seperti ini, publik menjadi korban, karena mereka disesatkan oleh informasi yang seharusnya bisa diuji secara terbuka.


Lebih dari itu, rakyat Papua butuh bukti keadilan, bukan sekadar kabar palsu. Mereka ingin hidup aman, bukan jadi objek dalam permainan propaganda. Jika pemerintah ingin damai, bukan ladang ganja yang harus diberantas, tapi ladang kebohongan yang terus ditanam demi menutupi luka sejarah yang tak kunjung disembuhkan. 




Penulis; G,T

Editor  ; G,T

Posting Komentar

0 Komentar

Close Menu